Kelahiran Aim Februari 2001 memberikan warna baru di keluarga kami. Menghadirkan kesibukan baru yang menghapus rutinitas Ayah Bunda selama ini. Sejak kepulangan dari rumahsakit Bunda tak pernah bosan memandang bayi mungil yang terpaksa lahir dua minggu lebih dini itu.
Awalnya Aim adalah bayi yang tenang dan banyak tidur, tidak seperti bayi Iqbal yang rewel dan selalu membuat heboh, merawat Aim lebih mudah dan menyenangkan, mungkin juga karena Bunda sudah lebih berpengalaman.
Tetapi semua berubah saat Iqbal terserang batuk pilek dan langsung menulari adiknya yang baru berumur sebulan. Tak bisa dihindari, selama ini mereka tidur sekamar. Hari sudah larut saat Bunda sibuk menidurkan Ibrahim. Aim menyusu dengan gelisah, hidungnya penuh lendir, nafasnyanya berat. Sesekali dia batuk dan muntah. Bunda mulai panik menghadapi tangis Aim yang tak juga berhenti. Antara sedih dan bingung. Ayah mengambil alih menenangkan Aim. Bunda duduk di tepi tempat tidur.
Setelah melewatkan beberapa menit untuk diskusi memilih dokter. Kami memutuskan mereka harus dibawa ke dokter Staa besok-ini kondisi mendesak- tidak mungkin lagi mengantri di poli dokter Hari Martono. Kami sepakat, Bunda yang akan mengantar mereka ke RSPI dan Ayah akan menyusul dari kantor.
Saat itu baru kami tersadar, dalam keremangan lampu kamar sepasang mata mungil mengerjap dari sudut tempat tidur.Bunda bertanya heran "Iqbal belum tidur ?" "Kenapa Bang ?" tanya Ayah.
Iqbal berkata dengan suara memelas "Iqbal Iri Ayah dan Bunda ngurus Adik terus" . Kami tersentak. Kami nyaris melupakan dia. Rasa bersalah hadir.
Ayah lalu bilang " Udah Bunda temani Iqbal tidur gih, biar Aim Ayah yang gendong". Bunda beranjak naik ke tempat tidur. Kupeluk Iqbal . Kasihan, dia juga sedang berjuang mengatasi batuk pileknya. Pasti tidak nyaman tidur sendiri. Pengalaman ini memberika pelajaran baru kepada Ayah dan Bunda. Kami harus bersikap adil kepada mereka.
No comments:
Post a Comment