Tiga tahun lalu, Mbak Isti minta pulang kampung.
Dia conflik dengan Nia pembatu kami. Mbak Isti adalah babby sitter Aim sejak aim berumur 1.5 tahun sampai saat itu umurnya 2.5 tahun. Bunda yang tidak tau persis duduk persoalannya, setuju saja. Bagaimanapun bunda tidak pernah menahan pembatu atau babysitter yang ingin resign. Itu hak mereka. Berharap mereka mendapat kesempatan yang lebih baik.
Aim begitu dekat dengan Mbak Isti. Makanya pagi itu dia menangis meraung-raung saat menyadari mbak istinya tidak ada. Dia sudah berangkat pagi buta. Maklum saat itu menjelang lebaran, angkutan ke pekalongan selalu penuh.
Bunda menyesal Isti pergi terlalu dini.Seharusnya Isti pamit supaya Aim tidak terus mencari, Bunda takut Aim jadi sakit karena rindu nantinya. Sudah banyak cerita seperti itu bukan ?
"Coba Aim diajak ke pangkalan bis..paling nggak supaya bisa dadah. Bis nya jalan jam 7 kok" saat itu masih 6.15
"Emang Bunda tau dimana ?"tanya ayah sambil berusaha mengendalikan Aim yang terus meronta.
"Pondok Labu. Dekat pangkalan angkot. Busnya namanya Dewi Sri, berangkat jam 7. Buruan yah….” Kataku takut tertinggal.
Ayah dan Aim yang belum mandi langsung bergegas.
Dan cerita ayah sepulang dari sana membuatku sedih. Aim terus menjerit memanggil mbak Isti. Mbak Isti sudah duduk dalam bis yang penuh sesak. Dia berkaca-kaca. seisi bis kelas ekonomi itu heran "anaknya nangis tuh, kok nggak diajak aja??" tanya sebelah Mbak Isti.
"Itu anak majikan saya. Saya baby sitternya"
Duh ? Isti memang sudah jadi Second Mom buat Aim.
Tiga bulan kemudian, Bunda memecat Nia dan Muti-baby sitter Aim yang baru – karena keduanya kong kalingkong membohongi Bunda. Bunda begitu marah. Bunda memecat keduanya sekaligus!! Bunda akhirnya mencari pembantu baru dan memanggil Isti kembali ke Jakarta. Dengan senang hati Isti bersedia. Dia memang sayang Aim juga. Tiga tahun berlalu tanpa terasa.
Bulan lalu Mbak Isti minta pulang kampung (lagi)
"Saya mau nikah Agustus ini , Bun. Toh Aim sudah besar.sudah mandiri. Kelihatanya saya tidak terlalu diperlukan lagi disini.
Aku tercekat."Hm, dulu kan katanya Isti mau tunggu sampai Ayah Bunda pulang haji akhir tahun ini ? “tanyaku berusaha menahan.
Well, Bunda sudah terlalu nyaman dengan Isti. Dia bukan cuma seorang baby sitter. Dia tangan kanan Bunda di rumah. Jika Bunda pergi keluar kota Bunda percaya penuh Isti bisa menghandle anak-anak.
“Iya, Maaf Bun. Tapi Bapak calon suami saya sudah sakit-sakitan. Minta dipercepat”
Aku Maklum. Ini akan jadi perkawinan Isti yang kedua. Dia janda muda. memang lebih baik jika dia cepat menikah lagi.Aku menyetujuinya. Tapi Bagaimana dengan Aim ?
Bunda langsung sounding waktu mengantar Aim ke sekolah.
Aim Marah !!
"Mama Isti nggak boleh kawin !" begitu teriaknya. Dia memang suka memanggil isti Mama. Walau Isti terlihat rikuh -Hei ? apa kata tetangga??-Tapi aku cuma tertawa.
Tiba juga hari H saat Isti harus pamit. Bunda minta Isti menunggu Aim bangun tidur. Aim memegangi tangan Isti erat-erat "Ini tangannya di lem, jadi Mbak Isti nggak boleh kawin" begitu dia bilang. Duh ? aku jadi takut peristiwa dulu terulang lagi.
Untungnya Aim sekarang sudah besar. Dia lebih mengerti. Dia memeluk Mbak Istinya. Merengek sebentar “jangan kawin…nggak boleh kawin” tapi akhirnya dia mau juga dadah. Tak ada air mata. Tak ada raungan kemarahan. Justru Isti yang terlihat berkaca-kaca.
Bunda sangat berterimakasih pada seorang janda muda bernama Istiqomah, yang penah menjadi second mom buat Aim dan Iqbal.
No comments:
Post a Comment