Sunday, May 28, 2006

Pesantren Kilat- Sebuah Pelajaran

Sudah lama aku mendengar tentang pesantren kilat di sekolah Iqbal.
Kegiatan yang rutin dilakukan menjelang ramadhan dan wajib diikuti oleh murid kelas 5.
“ Iqbal nggak mau ikut Bun” rajuknya, saat dia duduk di awal kelas 5
“ kenapa ?” tanyaku heran
“katanya tempatnya angker, trus makannya nggak enak, tempat tidurnya keras, nggak pake AC” banyak lagi yang dikeluhkan
Kutatap pangeranku yang ganteng itu lekat-lekat. Borju banget sih ?!Sekali-kalilah hidup prihatin…
“kelas 5 wajib Bang!" kataku tegas
“kata siapa ?” dia berusaha menawar.
“Kata Pak Guru ! “ tandasku
Iqbal terdiam.
Aku mendaftarkan Iqbal. Walau dalam hati kecilku aku ragu.
Bisakah dia hidup mandiri dalam empat hari?

Hari H Tiba. Tempat parkir sekolah penuh sesak kayak pasar malam. Macet Total. Jam dua tepat rombongan mulai bergerak. Bis yang dinaiki Iqbal lewat. Dia terlihat cemas untuk berpisah. Aku berusaha tegar.
“Bunda tengok nanti minggu ya ?” seruku sambil melambai.

Jumat & sabtu itu rasanya begitu panjang. Apakah dia baik-baik saja ? sangupkah dia bangun subuh ? gosok gigi tanpa perlu disuruh ? mengurus bajunya ? mengikat tali sepatu ? bagaimana kalo dia demam ? sakit perut ? terkilir ? digigit ular ? Aku benar-benar senewen!

Sampai tiba hari Minggu. Pagi sekali Ayah, Bunda dan Aim berangkat ke Megamendung. Membawa susu ultra dan snack kesukaan abang. Tiba di lokasi mereka sedang sarapan.
Walau terlihat kucel, Iqbal baik-baik saja. “ Gimana, Bang ? betah ?”
Iqbal menggeleng. Sedikit cemberut. “ capek !! bangun pagi banget , belajar ngaji terus, tiap dua kamar pak gurunya satu”
Hah!! Dia mewarisi sikapku. Selalu punya alasan untuk complain.
“kamu butuh apa ?” tanya ku berusaha menghibur
“Sandal putus, baju muslim habis, kemaren Iqbal jatuh, jadi kotor semua”
Aku mencatat baik-baik
“Udah ya Bun…kunci kamar minta aja sama pak guru…”serunya sambil berlari menjauh.
Aku menggelengkan kepala. Aku begitu kangen. Ternyata dia cuek aja.

Seperti yang kuduga kamar anak2 itu begitu semrawut. Baju kotor, kaos kaki dan sepatu basah, semua tumpang tindih dengan ransel dan bungkusan snack. Amit-amit baunya!!
Selagi aku melipat baju keempat anak dan beres-beres kamar , Ayah dan Aim memilih pergi naik kuda dekat lokasi pesantren.

Setelah itu kami turun ke bogor. membeli baju muslim dan sandal yang diminta Iqbal.

Saat kami kembali ke megamendung mereka sedang makan siang. Parkir penuh. Hari makin siang. Sudah semakin banyak orang tua yang menengok. Ternyata bukan cuma aku yang cemas. Hampir semua orang tua berpikir sama.

Iqbal cuma sebentar menenemui kami untuk mengambil perlengkapannya
Aku memeluk dan menciumnya.
Iqbal kelihatan risih. Dia malu. Sudah besar kok masih dipeluk cium?
Dia segera berlalu untuk bergabung bersama teman-temannya .
Aku tertegun. Aku masih ingin ngobrol banyak
Aku kangen. Kenapa dia tidak ?

Saat pulang, sepanjang jalan Tol aku terdiam.
Ayah mengoda “kecewa ya ? jauh-jauh datang anaknya cuek aja ?”
“paling nggak kita tau dia baik-baik saja…” kataku sambil mengingat kamar yang berantakan, sandal putus, kehabisan baju bersih!! Duh apa jadinya kalo kami tadi tidak menengok ?

“Dia sudah besar Bun. Nggak perlu kuatirlah. Biarlah dia belajar mandiri” kata ayah sambil terus menyetir.

Aku masih termenung. Dia belum lagi genap sebelas tahun..
Pesantren kilat ini barulah awal. Masih akan banyak kesempatan yang lain, dan aku harus belajar mempercayakan dia pergi. Demi membangun kemandirian dan menumbuhkan percaya dirinya bahwa dia mampu.

Begitulah proses kehidupan berjalan. Aku dan Iqbal sama-sama belajar.

No comments: