Satu jumat sepulang kantor, Aim memeluk Bunda erat erat dengan tampang cemas. Hey? What happened kid?
“Maksudnya”
Dengan bahasanya yang sederhana, dia mengulang cerita yang didapat dari Mbak Ria dan Leha, para pembantu kami, bahwa ada sms yang bisa mensantet dari jauh. Kalo sms itu dibalas atau telp itu diangkat, orang tersebut bisa mati. Yup, M-A-T-I…MATI
“Iya bener!! Di kampung temen Mbak udah ada kejadian gitu” katanya sungguh sungguh. Aku terbahak. Aim masih menatap Bunda dengan tampang serius
“Pokoknya jangan diangkat!! Aim nggak mau Ayah atau bunda mati” serunya nyaris menangis
“Emang kenapa kalo Ayah mati?” godaku
“Hiks..hiks..nanti siapa yang mau mbenerin sepeda Aim?!” katanya sambil mewek.
“Pokok jangan diangkat!! Nanti Bunda mati juga” Waah, makin emosi dia.
“Emang Aim sayang sama Bunda?” tanyaku penasaran
“Ya iyalaaaaah..masa ya iya dong” jawabnya nyeleneh.
Separo kesal karena Bunda seakan tidak menangapi serius atas concernnya terhadap cerita sms itu. Bunda terus tertawa dan terbahak. Ah Aim, kamu innocent banget!!
“Aim takut. Aim cuma mau angkat telp dari nomer-nomer yang ada namanya aja” katanya malas.
“Oh? bagus itu. Memang harus begitu sayang…” kataku bersyukur, waaah, Aim emang pinter. Tiba tiba Hp Esia Aim berdering. Empat digit angka yang tak dikenal. Walau Aim menjerit histeris, namun Bunda bergegas mengangkatnya. Penasaran.
”Kalo Aim nggak mau pake Hp lagi, Bunda pake aja ya…” pintaku. Lumayan kali. Tidak seperti Halo yang selalu setia dipakai Bunda, Esia
“Boleh. Aim jual ke Bunda..tujuh juta aja” katanya acuh tak acuh
Bunda kembali tertawa keras. duh Aim?? dengan tujuh juta, bisa dapat 20 handphone kayak punya Aim, dan kita bisa buka toko handphone kali…
No comments:
Post a Comment