Tuesday, September 09, 2008

Cepatlah Besar, Matahariku

Hari itu hari sabtu, ditahun 2001. SD Harapan Ibu –pondok pinang, tempat abang bersekolah dikelas satu masih menjalankan ketentuan masuk sekolah di hari sabtu. Abang yang sehari harinya diantar jemput supir pribadi, sabtu itu dijemput Ayah dan Bunda, yang saat itu masih naik pug hijau 405.

Apadaya lampu merah perapatan pondok pinang-pondok indah-bintaro-ciputat raya mati. Macet total. Antrian pengular panjang. Bunyi klakson memenuhi udara siang di selatan kota Jakarta. Beberapa Ibu mulai turun dari mobil dengan berpayung, menghindari panas terik matahari. Mobil kami masih nyangkut di depan pondok pinang center sekitar 500 meter dari gerbang sekolah. Dengan semangat yang sama seperti Ibu-ibu lain, Bunda turun sambil berpayung. Menyelinap diantara deretan mobil yang mengantri dan dengan peluh yang mengucur deras, tibalah Bunda di halaman depan sekolah Abang.

Satu pemandangan yang membuat Bunda bergegas, Abang menangis. Abang Sulung Bunda yang saat itu berumur 6 tahun memeluk erat tas sekolahnya sambil menangis keras di depan sekolah. Ketakutan, karena sekolah sudah bubar tapi belum juga dijemput-satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Duh? Nak..maafkan Bunda dan Ayah sayang..Abang yang kecil mungil memeluk Bunda sambil terus terisak

Itu cerita lama. Abang kini sudah menjelma jadi cowo yang sudah berani pergi sendiri dengan teman temannya “pake mobil bunda aja, minta anter supir” kata Bunda saat Abang telp ke kantor, pamit pergi nonton 21 di cinere mall “Nggak muat ah Bun, Teman Abang banyak, naik angkot aja”

Ya sudah, mereka pergi naik angkot. Pulangnya, karena mengejar magrib udah dirumah, mereka naik taxi dan Iqbal pulang membawa cerita…

“Supir taxi kita tadi kasihan lho Bun, dia belum pulang dua hari soalnya setoranya belum cukup”

“trus? Apalagi katanya” tanya Bunda. Terselip syukur dihati, Abang bisa punya interaksi dengan kehidupan nyata, yang tak selalu indah.

“Dia cerita katanya pernah ikut kontes KDI, tapi gagal soalnya nggak punya uang buat nyuap jurinya. Padahal suaranya bagus, tadi dia nyanyi dangdut buat kita hi..hi... Katanya yang menang KDI harus punya uang buat nyogok jurinya”

“Nah? Betul kan? Pada kenyataannya uang berkuasa” Kata Bunda sinis-seperti biasa.
“ Makanya kamu sekolah yang rajin, supaya nanti bisa cari uang dengan bener”. Uhm, ujungnya pesan sponsor deeh

“Eh? Salah dong Bun!!" tukas Abang cepat. “Bukannya kebenaran yang berkuasa?”

Kata-katanya menghujam tajam. Membuat Ayah otomatis mendelik kepada Bunda. Memarahi Bunda dalam diam, sebelum berucap mendukung. “Abang betul, Kebenaran yang berkuasa” Lalu dengan suara rendah Ayah berbisik pada Bunda, “Jangan pengaruhi Idealisme yang sudah dia punya. Kita harus bersyukur dia mengerti itu diusia muda”. Bunda cuma nyengir.

So? Hari ini Abang Iqbal berumur tigabelastahun. Selamat Ulang Tahun Abang, Smoga Abang kelak berhasil dalam segala cita-cita, dan bisa berpegang teguh pada idealisme yang Abang miliki. Smoga Allah selalu memberikan kesehatan, rahmat dan perlindungan pada Abang kami tercinta. Happy Birthday, Bang..We always love you..always proud of you..

well, Jadi inget sebaris lagu dari Iwan Fals..
cepatlah besar matahariku
tinjulah congkaknya dunia buah hatiku
doa kami di nadimu

1 comment:

monyetdodol said...

pelajaran berharga tante....
mohon bimbingannya kedepan buat defri nanti mendidik anak biar punya prinsip hidup yg kuat :)